Bahas Film Joker: Folie à Deux, Kenapa Tidak Sesukses Sebelumnya? Peter, April 3, 2025June 7, 2025 Spread the loveFilm Joker: Folie à Deux merupakan sekuel dari film Joker (2019) yang fenomenal dan berhasil mengukir sejarah di dunia perfilman. Film pertamanya, yang dibintangi oleh Joaquin Phoenix dan disutradarai oleh Todd Phillips, tidak hanya menuai pujian kritis tetapi juga sukses besar di box office, meraih lebih dari satu miliar dolar dan memenangkan banyak penghargaan termasuk Oscar untuk Aktor Terbaik. Dengan pencapaian sebesar itu, ekspektasi terhadap Folie à Deux sangat tinggi. Namun kenyataannya, film sekuel ini tidak mendapatkan respon yang sebanding dan dianggap “tidak sesukses sebelumnya.” Mengapa hal ini terjadi? Berikut ini pembahasan mendalam mengenai beberapa faktor yang memengaruhi performa dan penerimaan film Joker: Folie à Deux. Ekspektasi Terlalu Tinggi Setelah Sukses Film Pertama Salah satu penyebab utama mengapa Folie à Deux terasa kurang sukses adalah karena ekspektasi publik yang terlalu tinggi. Film pertama meninggalkan kesan yang begitu kuat—mewakili kritik sosial, krisis identitas, dan penderitaan mental dalam balutan karakter ikonik. Hal ini menempatkan beban besar pada sekuelnya untuk menyamai atau bahkan melampaui pencapaian tersebut. Ketika penonton datang dengan harapan mendapatkan kejutan dan kedalaman cerita yang sama, film sekuel justru menawarkan pendekatan berbeda yang tidak semua orang bisa terima dengan mudah. Perubahan tone dan gaya penceritaan pun akhirnya membuat sebagian besar penonton merasa tidak mendapatkan apa yang mereka harapkan. Perubahan Genre Menjadi Film Musikal Hal yang paling mencolok dari Joker: Folie à Deux adalah perubahan genre dari drama psikologis menjadi musikal psikologis. Kehadiran Lady Gaga sebagai Harley Quinn memang menjadi daya tarik tersendiri, tetapi konsep musikal dalam film dengan tema kelam dan karakter mental yang kompleks tidak sepenuhnya diterima oleh semua kalangan. Genre musikal seringkali menimbulkan pembelahan opini. Beberapa penonton menikmati eksplorasi emosional melalui lagu-lagu, namun banyak juga yang merasa pendekatan ini mengganggu nuansa suram dan realistik yang telah dibangun dalam film pertama. Perubahan arah ini bisa jadi terlalu drastis bagi penonton yang menyukai pendekatan sinematik Joker 2019 yang lebih mendalam dan membumi. Fokus Cerita yang Terpecah Film pertama Joker menyoroti satu karakter utama, Arthur Fleck, dengan fokus mendalam pada transformasinya menjadi sosok Joker. Narasi yang padat dan tajam menjadi kekuatan utama film tersebut. Namun, di Folie à Deux, fokus cerita terbagi antara Arthur dan Harley Quinn. Meskipun chemistry antara Joaquin Phoenix dan Lady Gaga cukup kuat, pembagian fokus cerita ini membuat kedalaman karakter tidak sekuat yang ada di film pertama. Penonton merasa cerita lebih melebar ke hubungan romantis, mimpi, dan fantasi musikal daripada eksplorasi psikologis yang kuat seperti di film pertamanya. Hal ini berakibat pada hilangnya keterikatan emosional yang sebelumnya sangat kuat dirasakan. Kurangnya Elemen Kejutan Salah satu kekuatan film Joker pertama adalah faktor tak terduga—penonton tidak tahu apa yang akan terjadi, dan transformasi Arthur Fleck menjadi Joker terasa begitu nyata dan mengejutkan. Dalam Folie à Deux, kita sudah familiar dengan siapa Arthur, latar belakangnya, dan arah cerita yang akan diambil. Dengan ekspektasi sudah terbentuk, sekuel ini kesulitan untuk menyajikan kejutan emosional atau narasi yang benar-benar baru. Meskipun ada elemen musikal dan kisah cinta gelap, semuanya terasa seperti perluasan dari karakter yang sudah kita kenal, tanpa banyak pembaruan tematik yang benar-benar mengguncang. Reaksi Kritis yang Lebih Dingin Jika film pertama mendapat sambutan hangat dari kritikus, sekuelnya mendapat respons yang jauh lebih beragam. Beberapa kritikus mengapresiasi keberanian Todd Phillips untuk keluar dari zona aman dan bereksperimen dengan genre musikal, namun banyak pula yang menilai film ini terlalu abstrak dan kehilangan kekuatan naratifnya. Beberapa ulasan menyebutkan bahwa Folie à Deux terlalu mengandalkan gaya dan estetika tanpa memberikan kedalaman cerita yang setara dengan pendahulunya. Ini menjadikan film ini lebih divisif di kalangan penonton maupun kritikus. Penurunan Antusiasme Pasca Pandemi Faktor eksternal seperti situasi pasca pandemi juga memengaruhi kesuksesan film ini. Pola menonton bioskop belum sepenuhnya pulih seperti sebelum pandemi, dan banyak penonton kini lebih memilih menonton dari rumah. Selain itu, persaingan dengan sejumlah film besar yang dirilis pada waktu bersamaan turut memengaruhi performa box office Folie à Deux. Persaingan yang ketat dari film-film franchise besar, serta tren minat penonton yang mulai bergeser ke genre lain, menyebabkan Folie à Deux tidak bisa mencetak prestasi sekomersial film pertamanya. Kesimpulan Joker: Folie à Deux bukanlah film yang buruk, tetapi merupakan film yang sangat berbeda dari ekspektasi banyak orang. Pendekatannya yang lebih artistik, bergaya musikal, dan menyoroti dinamika hubungan Arthur dan Harley Quinn bisa terasa segar bagi sebagian penonton, namun sekaligus mengecewakan bagi yang menginginkan narasi sekelam dan sedalam film sebelumnya. Kesimpulannya, film ini adalah eksperimen berani yang tidak untuk semua orang. Ia bisa menjadi karya yang artistik dan unik bagi mereka yang menikmati eksplorasi emosional dalam bentuk musikal. Namun bagi penonton yang mencari kelanjutan intens dari transformasi Joker seperti dalam film pertama, Folie à Deux mungkin terasa seperti langkah ke arah yang terlalu berbeda. Apakah layak ditonton? Jawabannya tergantung selera—jika kamu terbuka pada pendekatan sinematik yang tidak konvensional, maka Folie à Deux bisa jadi pengalaman baru yang menarik. Namun jika kamu lebih menyukai pendekatan dramatis dan psikologis realistis ala film pertama, kamu mungkin perlu menurunkan ekspektasi. Movie
Meskipun chemistry antara Joaquin Phoenix dan Lady Gaga cukup kuat, pembagian fokus cerita ini membuat kedalaman karakter tidak sekuat yang ada di film pertama. Penonton merasa cerita lebih melebar ke hubungan romantis, mimpi, dan fantasi musikal daripada eksplorasi psikologis yang kuat seperti di film pertamanya. Hal ini berakibat pada hilangnya keterikatan emosional yang sebelumnya sangat kuat dirasakan.